Aksi Mahasiswa, Sungguh-Sungguh Berjuang, Biang Kerusuhan atau Sekedar Ajang Seru-Seruan??

Aksi mahasiswa bukanlah hal yang baru di negeri ini, dari zaman soekarno, pergerakan mahasiswa sudah sangat terasa pengaruhnya di negeri ini. Bahkan aksi mahasiswa selalu memainkan peran penting dalam jatuhnya rezim-rezim yang pernah berkuasa di negeri dengan jumlah budaya terbanyak di dunia ini.

Di zaman reformasi ini, aksi mahasiswa semakin terasa geregetnya. setelah sekian lama di-suppress oleh Soeharto dan para pesuruhnya, bagai singa yang baru terbangun dari tidur, pergerakan mahasiswa terjadi bagai rantai yang tak berujung. Begitu juga belakangan ini, aksi mahasiswa kembali memperdengarkan gaungnya. Dan kali ini gaung itu berbunyi “Menolak UU BHP merupakan sebuah harga mati.”

Berlandaskan semangat membebaskan pendidikan dari kapitalisme, ratusan atau bahkan ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru negeri menggelar aksi untuk mencegah disahkannya RUU BHP, dan kini menuntut dibatalkannya pengesahan UU BHP, yang menurut mereka UU BHP ini akan berimplikasi pada semakin mahalnya pendidikan di negeri ini.

Biang kerusuhan

Berdalih memiliki semangat tersebut, puluhan atau mungkin ratusan mahasiswa Universitas Hassanudin melakukan aksi yang bersifat anarkis dan bentrok dengan aparat keamanan. Bahkan pada aksi berikutnya mereka menyandera satu unit truk untuk menarik perhatian pemerintah.

Aksi anarkis mahasiswa seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Masih jelas di ingatan bagaimana aksi anarkis yang dilakukan mahasiswa UNAS dan UKI beberapa bulan lalu menyikapi tindakan pemerintah yang menaikkan harga BBM. Bentrokan dengan aparat tak terelakkan, pemboikotan jalan yang berujung pada kemacetan panjang, diikuti dengan pengrusakan fasilitas umum dilakukan oleh mereka yang seharusnya berpendidikan.

Semangat membela rakyat dan tindakan pemerintah yang menurut mereka menyengsarakan rakyat mereka jadikan pembenaran untuk melakukan tidakan yang bersifat destruktif yang secara tidak langsung juga pasti berdampak negatif bagi masyarakat. Sungguh mengherankan, apakah kesalahan orang lain dapat kita jadikan pembenaran untuk melakukan kesalahan yang lain?? Dan yang lebih mengherankan lagi, tindakan tidak berakal itu dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya cerdas baik secara moral ataupun intelektual.

Ajang seru-seruan

Tapi tidak semua aksi yang dilakukan oleh mahasiswa bersifat anarkis dan destruktif. Ada juga aksi mahasiswa yang tidak berujung pada pengrusakan fasilitas umum. Biasanya aksi yang cenderung ‘tertib’ ini dilakukan oleh PTN-PTN yang berada pada peringkat atas di Indonesia.

Masalah berikutnya adalah, ternyata tidak semua mahasiswa yang melakukan aksi memahami esensi dari aksi yang mereka lakukan, bahkan Universitas yang saat ini menyandang peringkat satu di negeri ini pun mengalami hal yang serupa, banyak dari mereka yang mengikuti aksi hanya didasari motif ikut-ikutan atau seru-seruan belaka.

Ambil contoh dari aksi mereka menolak RUU BHP di gedung DPR kemarin. Sangat minim dari mereka (peserta aksi) yang telah membaca RUU BHP secara keseluruhan (malah saya khawatir tidak ada). Kalaupun ada yang membaca RUU tersebut, paling mereka hanya membaca satu atau dua pasal yang dianggap petinggi-petinggi BEM-nya bermasalah saja.

Mereka seolah menutup mata bahwa ada pasal yang akan berimplikasi positif ke depannya dan dengan lantang kemudian berteriak “Menolak UU BHP merupakan sebuah harga mati!!”. Memang sih ada yang namanya pencerdasan sebelum dilakukannya aksi, tapi pencerdasan itu sangat tidak mencukupi untuk bisa memahami RUU BHP yang terdiri lebih dari 69 pasal yang membutuhkan tempat lebih dari 30 halaman belum termasuk dengan penjelasannya.

Jika mereka telah membaca RUU tersebut secara keseluruhan, seharusnya teriakan mereka adalah seperti ini “Merevisi UU BHP merupakan sebuah harga mati!!” karena ketika kita menolak sesuatu, itu berarti kita menolak sesuatu itu secara utuh. Padahal kita sama-sama tahu bahwa juga ada pasal yang akan berimplikasi baik (baca “Melihat BHP Objectively”). Seperti gratisnya pendidikan dasar dan terciptanya transparansi pada penyelenggaraan keuangan BHP. Masa hal itu mau kita tolak juga??

“Wah seeru deh, bentrok sama pamdal, tarik-tarikan, dorong-dorongan, teriak-teriak, ada yang dipukulin juga, pokoknya seru abis.”

Kurang lebih itulah jawaban salah satu peserta aksi dari UI ketika ditanya tentang aksi di gedung DPR. Jawaban yang sangat memalukan untuk orang yang mengaku berusaha menggagalkan liberalisasi pendidikan di Indonesia dengan disahkannya RUU BHP.

Seperti kita sama-sama tahu, bersamaan dengan aksi itu, anggota DPR secara grusa-grusu tetap mengesahkan RUU BHP. Jika memang para mahasiswa yang melakukan aksi menganggap RUU BHP itu tidak baik secara keseluruhan dan serius ingin menggagalkan RUU BHP, seharusnya tindakan DPR itu membuat mereka menjadi bersedih, bukan malah keasyikan seperti itu.

Jawaban tersebut jelas menunjukkan ketidaktahuan si empunya jawaban tentang esensi dasar dari aksi tersebut yaitu perjuangan. Hey bung, ini bukan main-main! Semua dari kita sedang sama-sama berjuang demi rakyat Indonesia dengan jalan kita masing-masing. Kalau anda memilih aksi turun ke jalan sebagai jalan perjuangan anda, lakukan dengan serius, jangan cuma ikut-ikutan dan menganggap itu sebagai ajang seru-seruan belaka.

Sungguh-sungguh Berjuang

Ada juga mahasiswa yang sangat bersungguh sungguh dalam mengikuti aksi. Mereka mengikuti aksi dengan semangat membara dan berapi-api. Saking membaranya, semangat itu berubah menjadi api fanatisme yang membakar objektivitas mereka.

Tokoh pergerakan mahasiswa mereka jadikan panutan, seperti malaikat yang tidak punya kesalahan, sehingga apa saja yang tokoh itu katakan adalah sebuah kebenaran. Sebaliknya, para wakil rakyat mereka jadikan musuh abadi yang selalu salah, sehingga apa saja yang keluar dari mulut anggota dewan selalu salah dan selalu mereka bantah.

Mereka tidak melihat apa yang dibicarakan, tapi yang mereka lihat adalah, mulut siapa yang membicarakannya. Sindrom ini lah yang membuat perjuangan mahasiswa kita menjadi tidak objektif dan tidak berlandaskan moral dan intelektual sebagaimana seharusnya. Dan biasanya yang terkena sindrom ini adalah para mahasiswa baru yang silau dengan euphoria perjuangan kampus.

Konklusi

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Aksi dan pergerakan mahasiswa, bahkan negeri ini berhutang banyak pada para mahasiswa yang berhasil menggulingkan kediktatoran rezim orde baru. Namun niat dan semangat mulia membela rakyat itu haruslah didasari moral dan intelektualitas serta dibarengi dengan objektivitas sehingga bisa menjadi salah satu jembatan yang mengantarkan rakyat negeri ini kepada kemakmuran dan kesejahteraan.

Jangan sampai niat dan semangat mulia itu malah membakar objektivitas para mahasiswa sehingga emosi dan amarah lah yang mendasari aksi mahasiswa di negeri ini. Kalau itu sampai terjadi jangan harap aksi mahasiswa dapat menjadi jembatan bagi masyarakat untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Alih-alih mencapai kemakmuran, bisa-bisa aksi mahasiswa malah menambah kesengsaraan bagi masyarakat.

4 thoughts on “Aksi Mahasiswa, Sungguh-Sungguh Berjuang, Biang Kerusuhan atau Sekedar Ajang Seru-Seruan??

  1. hmm..gw jadi berpikir kalo banyaknya anak2 maba yang ikut demo masih ada yang karena euforia jadi mahasiswa aja. Karena waktu kita sma kan belum boleh demo seperti layaknya mahasiswa berdemo. Bagus don, tulisan lo cukup membuat gw berpikir ulang apakah gw akan ikut demo hanya sekedar ngisi waktu luang atau karena memang gw peduli dengan isu tersebut..

  2. sebagai ajang seru-seruan,,,so far itu yang kutangkep don

    aku juga setuju ama bisuk,,,seolah-olah itu teh sebagai ajang penegasan,,kalo mahasiswa itu ada loh,,atau mahasiswa itu selalu benar loh,,atau saat ini harusnya orang muda yang bicara loh,,kayak gitu deh..

    yah ini dari kacamata pengangguran sih ^^

  3. Hidup Mahasiswa…hidup rakyat ..

    mahasiswa bukan lagi agen of change tetapi leader of change..

Leave a comment